Header Ads

SEJARAH DESA KAPONAN

BABAD DESA

Tanah di wilayah Desa Kaponan pada awalnya dibabat oleh pengikut rombongan Pakubuwono II yang meninggalkan wilayah Klaten, Surakarta dan Kartosuro akibat huru-hara perselisihan orang-orang Cina dengan Belanda di seluruh Jawa pada tahun 1742. Rombongan Pakubuwono II ini kemudian mengungsi dan dilindungi di Pesantren Gerbang Tinatar, Tegalsari Ponorogo. Kyai Ageng Muhammad Besari yang merupakan tokoh pendiri Masjid dan Pesantren Gerbang Tinatar sejak 1724 telah menjadi pusat penyebaran agama Islam di Kabupaten Ponorogo (Widyarini, 2013). Setelah cukup mengenal wilayah Ponorogo dan mendapat restu dari para tokoh, pada tahun 1777, rombongan santri ini memisahkan diri ke berbagai tujuan untuk membuka hutan dan mendirikan permukiman. Salah satunya adalah R. Ng. Soetowijoyo, besama keluarga dan sanak saudaranya kemudian membuka hutan di wilayah Kaponan dan menetap di sana, inilah awal yang menjadi cikal bakal permukiman di Kaponan (Soegijono et al, 2006). 

Selanjutnya, R. Ng. Soetowijoyo dinobatkan menjadi Lurah pertama Kaponan. Perlu diketahui, bahwa sebutan Lurah pada masa itu berbeda dengan Kepala Desa sekarang. Lurah adalah sebutan bagi pemimpin yang ditikihkan. Peninggalan yang menceritakan babat Desa Kaponan berupa makam tua yang tertata rapi dan dikelilingi Pohon Pakis disebut oleh warga sekitar sebagai Setono atau Astono yang mempunyai makna Istana. Selain itu juga adanya pusaka babat alas Tumbak Lodoh yang dulu diwariskan kepada Puteri R. Ng. Sutowijoyo yaitu Nyai Darinah dan sekarang masih disimpan oleh keluarga Lurah ke-9 yang merupakan keturunan R. Ng. Soetowijoyo.  

Beji Kaponan tidak bisa dipisahkan dari sejarah asal-usul Desa Kaponan. M. Djauhari yaitu Lurah ke-9 membenarkan cerita dari para tetua Desa, bahwa ketika tanah Kaponan masih berupa hutan liar dan masih banyak hewan buas, tersebutlah seorang yang bernama R. Ng. Soetowijoyo yang masih leluhurnya,  memulai babat tanah Kaponan kemudian mendirikan rumah dan membuat pemukiman. Setelah dirasa cukup luas dan mulai banyak penduduk yang ikut bermukim, maka diperlukanlah sebuah nama untuk tempat tersebut. berawal dari seekor burung merak yang cantik dengan kemolekan indah bulunya sedang kipu di selatan pemukiman, seiring berjalannya waktu burung merak tersebut lalu menjadi sebuah koloni dan bergerombol. Sehingga setiap hari semakin banyak burung merak yang kipu dan semakin lebar juga dalam tempat kipunan merak tersebut. Pada akhirnya tempat itu oleh penduduk setempat disebut dengan nama “Kipunan”. Karena kurang luwesnya penyebutan nama Kipunan kemudian mengalami pergeseran kata menjadi Kaponan. diyakini bahwa R. Ng. Soetowijoyo adalah orang yang merubah nama Kipunan menjadi Kaponan. 

Setelah semakin lama burung merak kipu, muncullah sumber mata air di tempat tersebut yang airnya tidak pernah kering, kemudian berubahlah tempat tersebut menjadi sebuah beji, dan di huni berbagai macam hewan, seperti bulus (kura-kura) yang menurut mitos hewan tersebut selalu mendatangi Pemuka Desa setiap malam satu suro meminta untuk diruwat dengan diadakan bersih desa berupa pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Sampai sekarang beji tersebut masih terawat dan berada di ujung selatan Desa Kaponan. 


MENJADI PUSAT PEMERINTAHAN KABUPATEN PONOROGO

Pada tanggal 19 Desember Tahun 1948 terjadi Agresi Militer II Belanda dengan diawali serangan pertama di Yogyakarta, kemudian meluas ke berbagai daerah termasuk Ponorogo yang juga diduduki oleh Belanda. Awal tahun 1949 Kabupaten Ponorogo dalam keadaan darurat perang dan terjadi kekacauan dimana-mana, banyak bangunan yang dibumihanguskan seperti pasar, sekolahan, fasilitas umum, sampai Pendopo Kabupaten, sehingga Pusat Pemeritahan Kabupaten Ponorogo harus dipindahkan. Pada akhirnya dipilihlah Desa Kaponan untuk menjadi Pusat Pemerintahan Kabupaten Ponorogo pada masa kepemimpinan Bupati Prayitno. 

Pendopo Kabupaten Ponorogo diboyong ke Desa Kaponan karena kebetulan pada saat itu Kepala Desa Kaponan yaitu Imam Suhadi adalah figur yang sangat disegani, dan merupakan tokoh yang berpengaruh di Kabupaten Ponorogo. Selain itu Desa Kaponan juga merupakan satu-satunya daerah yang dirasa paling aman untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten. Tidak hanya pendopo, rumah sakit, kantor polisi, kantor CPM dan TNI juga boyong ke Desa Kaponan. 

Sampai pada akhirnya datanglah Jendral Sudirman ke Desa Kaponan dan membebaskan Ponorogo dari Agresi Militer II Belanda kemudian jalur Gerilya Sang Jendral diabadikan menjadi nama jalan di Desa Kaponan dengan sebutan Jalan Jend. Sudirman. Kurang lebih selama 6 bulan Pusat Pemerintahan Kabupaten Berada di Desa Kaponan, Setelah Belanda berhasil diusir oleh para pejuang dan gerilyawan, Pusat pemerintahan kembali di pindah dari Desa Kaponan ke Kota Ponorogo, Tercatat dalam sejarah setelah suasana kondusif dan setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan gerilyawan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949. 

Saat ini kondisi bangunan yang dulu dipakai Pendopo Kabupaten Ponorogo di Desa Kaponan masih terpelihara dengan baik. Mebeler seperti meja, kursi dan bumo masih terpelihara dengan baik. Pada bagian depan pojok terdapat lonceng yang pada saat itu digunakan sebagai penanda waktu, pada saat lonceng dibunyikan, lonceng tersebut bisa terdengar hampir di seluruh wilayah Desa Kaponan dan ketika Bulan Puasa digunakan sebagai penanda waktu sahur dan imsyak. Dibelakang Bangunan terdapat makam para tokoh dari 7 keturunan lurah pertama, yang disebut sebagai Makam Setono. (PM)



Berikut ini adalah nama-nama yang pernah menjabat sebagai Lurah / Kepala Desa Kaponan :
1. SOETOWIJOYO (1777-1827)
2. TIRTOKROMO (1827-1828)
3. BOYAMIN (1828-1829)
4. RONOWIJOYO (1829-1884)
5. DJOYOKARYO (1884-1938)
6. IMAM SUHADI (1938-1978)
7. FATCHURROHMAN (1978-1990)
8. SUNOTO (1990-1998)
9. M. DJAUHARI (1998-2006)
10. ZAINUDIN (2006-2013)
11. MARWANDI (2013-Sekarang)



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.